Yang Sudah Boleh Dikumpulkan

Ketika ulangan atau ujian, kita pasti disuguhkan soal ujian yang beragam, dari yang paling mudah sampai yang paling sulit, dari pilihan ganda sampai esai. Pasti beragam. Dan beragam pula cara mengerjakannya, ada yang jadi malaikat (jujur), ada yang mendadak jadi pengarang, ada juga yang meniru karya orang lain.

Apabila ada yang merasa ahli di mata pelajaran A, ketika pelajaran A diujikan atau diulangankan, pasti orang tersebut akan merasa mudah dalam menjawab soal-soal ujian pelajaran tersebut. Sebutlah si Ambar. Ambar merasa bahwa ia menguasai pelajaran Biologi, dan ketika ada ulangan Biologi, ia sambut dengan gembira. Ketika melihat deretan soalnya, dia tersenyum kegirangan karena merasa soal-soal itu sangat mudah, sehingga ia bisa mengerjakannya dalam waktu yang relatif lebih cepat dibandingkan teman-temannya.

Ketika akan ujian, pasti sudah ditentukan berapa lama ujian tersebut akan dilaksanakan. Sebutlah UTS, UAS, UKK, sampai UN, pasti durasi ujiannya sudah ditentukan. Misalkan 2 jam, atau 1 setengah jam. Pengawas ujian pun pada awalnya pasti memberi tahu berapa lama waktu untuk mengerjakan soal ujian tersebut.

Dalam pelaksanaan ujian resmi, ujiannya diberi waktu khusus selama satu pekan, kita sebut saja pekan ujian. Selama satu pekan penuh waktu tersebut digunakan hanya untuk ujian, tidak ada kegiatan belajar-mengajar. Biasanya UAS, UKK, atau UN. Nah, pembaca sekalian pasti pernah merasakan ujian tersebut bukan? Bisa Anda lihat di cover soal ujian tersebut, pasti ada keterangan waktu ujian tersebut berapa lama. Misalkan ujian Ekonomi, pukul sekian sampai pukul sekian, tanggal sekian, blablabla. Sudah sangat jelas waktunya, tertera di cover soal ujian tersebut. Kita sebut saja 2 jam. Namun yang ingin saya tanyakan, apakah akan benar terjadi ujian tersebut dilaksanakan selama 2 jam?

Soal ujian rata-rata sebanyak 40 sampai 50 soal, yang dimana waktu yang diberikan untuk mengerjakan soal bisa dibilang sangat cukup untuk mengisi seluruh soal yang diujikan. Jika dipikir secara logika, waktu tersebut sangat cukup untuk memikirkan jawaban 40-50 soal secara maksimal.

Saya kira pendidikan Indonesia belum bisa dibilang baik atau cukup bagus. Tak perlu membicarakan permasalahan pendidikan secara makro, seperti pemerataan kualitas pendidikan diseluruh daerah Indonesia, sarana prasarana pendidikan yang belum merata, adanya kesenjangan pendidikan, distribusi dana pendidikan tidak tersalurkan dengan baik, atau yang lainnya.

Coba kita lihat permasalahan yang amat sangat kecil, sangat tidak diperhatikan, dan mungkin para petinggi pendidikan di negeri ini tidak memikirkannya. Mari kita coba kritisi masalah waktu. Sangat sepele bukan?

Saya yakin 100 %, ketika ada ujian, sesulit apapun ujian itu, pasti akan bisa diselesaikan dengan waktu yang cepat. Setengah waktu dari durasi ujian yang berikan pun terasa cukup. Misal diberi waktu selama 2 jam untuk mengerjakan soal Matematika. Saya yakin 1 jam sampai 1 setengah jam soal tersebut sudah selesai dikerjakan. Dan apabila sang pengawas melihat para peserta ujian terlihat santai, padahal waktu ujian belum selesai, pasti akan berujar :

“Ayo diperiksa lagi. Kalau sudah, boleh dikumpulkan. Silahkan yang sudah boleh 
meninggalkan kelas.”

Nah, otomatis yang sudah selesai mengerjakan ujian, dengan sigapnya maju kedepan mengumpulkan lembar jawabannya. Padahal tidak ada jaminan, apabila ia mengumpulkan lembar jawabannya lebih cepat, maka nilai ujian yang akan ia terima lebih besar. Apa proses selanjutnya? Apabila ada yang mendahului mengumpulkan, otomatis teman-teman yang lainnya merasa ingin sesegera mungkin mengumpulkan lembar jawabannya. Sepintar apapun, setenang apapun orang tersebut, pasti akan ada rasa ingin cepat-cepat mengumpulkan lembar jawabannya. Itu wajar, faktor psikologis yang tidak bisa ditolak.

Padahal sudah menjadi kebijakan umum dari sekolah, yang menetapkan berapa lama waktu yang digunakan untuk pelaksanaan ujian. Namun dalam pelaksanaannya, tidak seluruh waktu tersebut digunakan. Paling hanya setengahnya, dan langsung dipersilahkan keluar kelas.

Tentu ini berdampak pada nilai. Yang tadinya serius mengerjakan, ketika melihat teman-temannya sudah mengumpulkan, tentu akan ada dorongan hati dan pikiran untuk segera mengumpulkan lembar jawabannya. Akhirnya apa? Jadi pengarang dadakan. Alangkah lebih baik jika hanya diberi waktu 1 jam saja, tapi tepat waktu, mulai dan berakhir tepat waktu.

Kalau waktu saja disepelekan, apa lagi yang lainnya? Kalau masih tidak bisa konsekuen dengan waktu, apa lagi yang lainnya?

Oke selama kegiatan belajar-mengajar berlangsung selama 2-4 jam pelajaran setiap mata pelajarannya. Dan ketika ujian diberi waktu 2 jam, apa tidak bisa memaksimalkannya dengan baik?

Lagi-lagi permasalahan negeri ini terletak pada mentalnya. Kualitas mental warga Indonesia masih belum kuat. Persoalan waktu saja, tidak bisa konsekuen.

Ibu bapak guru yang mempersilahkan keluar sebelum waktunya, siswa yang mengumpulkan lembar jawaban dengan cepat, dan siswa yang terhasut ingin mengumpulkan cepat sama salahnya.

Ketidaksabaran lah jawabannya. Sang pengawas tidak bersabar memunggu sampai waktu habis, sang murid pintar tidak sabar melawan keegoisannya, dan yang terhasut pun ikut tidak sabar mengumpulkan lembar jawaban dengan cepat.

Pak Jokowi menggencarkan gerakan Revolusi Mental, yang sampai saat ini belum dapat saya rasakan kemajuan mental warga Indonesia.

Sekarang pun Pak Muhadjir, Mendikbud kita saat ini, sedang berusaha penuh agar pelaksanaan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) tahun ini meningkat, bertambah jumlah sekolah yang menggunakan sistem Computer Based Test (CBT).

Pembangunan pendidikan lebih diarahkan kepada kemajuan teknologi, bukan pembangunan karakter manusianya. Justru yang harus diutamakan ialah pembangunan karakter manusianya, bagaimana caranya kemajuan teknologi dapat digunakan secara bijak jika tidak ada peningkatan kualitas manusianya?

Ketika hal kecil disepelekan, tentu akan berdampak besar. Sebaliknya pula, ketika hal kecil sudah diperhatikan dengan baik, pasti dampak positifnya akan jelas terasa.

Ayo belajar cerdas, mari sama-sama membangun Indonesia menjadi lebih baik. Tidak perlu demo sana-sini, tak perlu bertanya ‘Apa yang harus saya lakukan untuk negeri ini?’, tapi mulailah dengan menjadi pribadi yang lebih baik, pribadi yang membawa karakter dan nilai positif untuk masyarakat disekeliling kita. Salam sinergi!

Komentar