Stuck in Negative Thoughts

Sumber gambar : www.pinterest.com

 Pada jum’at yang lalu, setelah saya shalat jum’at, saya berjalan kaki mengitari jalanan Jl. Diponegoro. Karena termasuk jalan yang ramai, disana banyak orang yang berjualan. Biasa kita sebut emperan toko. Disana saya banyak melihat orang yang tidak berpuasa, karena mereka merokok, minum, bahkan makan tanpa ada rasa malu.

Awal saya melihat pemandangan itu, hati saya berkata “Duh, kenapa ya gak malu makan minum didepan umum. Orang-orang kan pada shaum.” Subhanallah. Hati ini menjadi su’udzon ketika melihat mereka yang tidak berpuasa. Saya khawatir, apakah kadar pahala berpuasa saya akan berkurang? Ah, biar Allah saja yang menentukan.


Tapi, kalau dipikir-pikir, sebenarnya bisa saja saya ber-husnudzon kepada mereka, bisa saja kan mereka sedang safar, sehingga mereka memilih untuk tidak berpuasa. Atau mungkin bagi mereka yang wanita, mereka sedang halangan, sehingga mereka tidak bisa berpuasa. Tapi, mengapa pikiran dan hati saya lebih condong ber-su’udzon?

Sumber gambar : www.pinterest.com

Saya rasa, walaupun mungkin mereka tidak memiliki uzur untuk tidak berpuasa, dan memilih jelas-jelas makan, minum, atau merokok didepan umum, itu hak mereka. Sekali lagi, itu hak mereka. Tidak ada hak dari diri saya untuk berkomentar lebih, apalagi berburuk sangka kepada mereka. Mungkin apa yang saya pikirkan tentang mereka hanya akan menjadikan pahala saya berkurang. Toh ketika saya berpikiran negatif pun mereka tetap makan minum seenaknya, dan pikiran negatif saya tidak ada pengaruhnya sama sekali bagi mereka. Mereka tetap enjoy dengan makan dan minumnya. Lantas mengapa saya harus risih dengan tindakan mereka?


Saya kira, kebanyakan dari kita lebih sering menuruti hawa nafsu dalam berpikir, tanpa mengetahuinya lebih jauh. Kita sangat mudah dan cepat memberi kesimpulan terhadap apa yang belum kita ketahui. Sederhananya, ketika kita melihat sesuatu yang mungkin menurut kita tidak baik, kita dengan mudahnya memberikan judgement kepada pelakunya.

Sumber gambar : www.pinterest.com

Contoh saja begini. Ada seorang kakek-kakek yang meminta uang sebesar 4000, kakek-kakek itu meminta dengan memelas, sembari menceritakan untuk apa uang 4000 itu. “Ini dek, abah butuh ongkos 4000 untuk pergi ke rumah saudara. Uang abah tadi habis untuk beli makan. Adek ada gak uang 4000? Abah boleh minta?”

Saya kira, mungkin banyak orang yang merasa kasihan kepada kakek itu, dan tanpa pikir panjang langsung memberinya uang, bahkan dengan nominal yang lebih. Tapi, mungkin tidak sedikit juga orang yang pikir-pikir dulu, apakah kakek ini benar-benar butuh atau hanya ingin memanfaatkan setiap orang yang lewat. Dan mungkin, ada juga orang yang memilih berkata tidak ada, padahal ada.

Sumber gambar : www.pinterest.com

Kalau kita pikir menggunakan akal sehat kita, tentu dengan pikiran yang bersih dan jernih, apakah sebaiknya kita memberikan kakek itu uang? Kalau saya pribadi, iya. Karena mungkin 4000 tidak terlalu besar. Parkir motor saja sudah 3000, mobil 5000. WC umum saja 2000-3000. Masa ada orang yang kesusahan kita seperti sulit sekali untuk memberi?

Atau contoh lainnya begini. Kita sedang berada disebuah tempat umum, katakanlah tempat makan. Dan ketika kita sedang lahap menyantap makanan, ada seorang pemuda yang meminta sumbangan. Katanya untuk penggalangan dana yang akan diberikan pada panti asuhan A di daerah B. Sumbangan itu seikhlasnya, seridhonya. Yang pertama ada di pikiran kita saat itu apa kira-kira? Akankah responnya begini “Duh, keren banget. Masih muda tapi gak malu minta sumbangan, untuk panti asuhan lagi.” atau “Ini kira-kira uangnya masuk kemana ya? Apa bener disumbangin ke panti asuhan?” Yang mana kira-kira?

Terkadang, pikiran kita ini seolah hanyut terbawa emosi negatif yang ada pada diri kita. Belum apa-apa, sudah berani memberi cap buruk. Kalau saja kita ingin berpikir lebih jernih, dan memandang segala sesuatunya dengan kepala dingin, kita pasti bisa selalu berprasangka baik, alias ber-husnudzon.

Sumber gambar : www.pinterest.com

Coba teman-teman pikirkan, kira-kira kenapa sih kita lebih sering menuruti emosi negatif kita?

Pertama, kurang iman. Pasti setan dari segala penjuru akan menggoda kita. Pasti. Ketika ada celah di hati kita yang kosong, pasti mereka dengan sigap dan cepat menghasut dan menggoda. “Eh kamu gak usah kasih kakek itu duit, lagian kan kamu juga butuh buat ongkos pulang.” atau “Elah, orang lain pasti ngasih sumbangannya kok. Udah kamu gak usah ikut-ikutan. Lagian gak jelas tuh duit kemana ngalirnya.”

Makanya kenapa kita diharuskan terus berdzikir, mengingat dan menyebut nama-Nya, agar kita selalu terlindung, iman kita selalu terjaga.

Kedua, kurang bisa mengontrol diri. Sebenarnya kita ini selalu diberi pilihan. Ingin berpikiran baik, atau sebaliknya. Ingin su’udzon, atau husnudzon. Ingin berbuat baik, atau sebaliknya. Dan tak jarang, ketidakmampuan kita dalam mengontrol hati pikiran kita itu berujung pada keburukan.

Jadi, ayolah kita sama-sama berusaha dan belajar, selalu mencoba memandang segala sesuatu dari sudut pandang yang lain. Jangan hanya menggunakan sudut pandang pribadi, karena itu hanya akan mempersempit perspektif kita. Salah persepsi, jatuhnya bisa ke penyakit hati, ya jadi su’udzon tadi. Dan juga, jangan lupa untuk selalu mencoba dan belajar berpikiran baik, jangan terhanyut oleh pikiran negatif kita.

Semoga Allah mudahkan. Aamiin.

***
#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menulis itu..

Naskah Pidato : Revolusi Mental Generasi Muda

FOLLBACK DONG!