Membangun, bukan Menjatuhkan

Sumber gambar: http://kitaplarikonusturankadin.com

Beberapa hari yang lalu, adik saya berinisiatif untuk berjualan pudding. Ia bersama 2 orang temannya patungan untuk membeli bahan-bahan yang diperlukan. Setelah bahan terkumpul, mereka bersama-sama membuat pudding dengan penuh antusias.

Akhirnya pudding karya mereka pun jadi. Pudding tersebut disajikan diatas sebuah wadah plastik. Dan mereka pun menjualnya kepada warga sekitaran rumah, pada sore hari menjelang waktu berbuka. Yang menjadi target penjualan mereka adalah barudak mereka sendiri, yakni barudak pengajian masjidnya.

Mereka menjualnya dengan harga 1.000/pcs. Saya pada awalnya ragu melihat barang jualan mereka, karena saya kira kemasannya kurang rapih. Tapi, sekitar 15 menit sebelum adzan maghrib, adik saya sudah kembali ke rumah dengan nampan kosong. Iya, ia berhasil menjual habis barang dagangannya.

Adik saya yang satu ini sepertinya memang suka berjualan. Beberapa waktu sebelumnya ia pernah juga berjualan squishy (entah penulisannya benar atau tidak. Mainan yang diremas) dan slime. Ya saya sebagai kakaknya hanya mendukungnya, dengan sedikit-sedikit memberi saran. Dan, yang selalu membuat saya kaget ialah, barang dagangannya selalu laku terjual. Saya pun heran. Hebat dia. (wkwk)

Dan ketika ia mau menjual pudding pun, sebenarnya ada perasaan dan keinginan dari diri saya untuk mengejeknya, karena kemasannya kurang rapih. Tapi alhamdulillah saya berhasil mengurungkan niat buruk saya itu. Saya ubah niat buruk itu dengan sebuah apresiasi,

Wes dede mau jualan. Hebat! Semangat dek!”                                                 

Dan pada akhirnya apresiasi itu berujung manis. Ia berhasil menjual habis barang dagangannya.

Apa benang merah yang dapat teman-teman ambil dari kisah adik saya?

Ya, apresiasi pasti akan berujung manis. Tidak seperti ejekan, hinaan, atau kritik pedas yang menjatuhkan, pasti akan berujung tragis. Apresiasi berujung manis, ejekan berujung tragis. Is, is.

Biasanya, kita lebih sering mengkritik pedas, bahkan mengejek hasil karya (karya apapun itu) seseorang, tanpa tahu bagaiman ia berusaha menghasilkan karyanya. Kita ini lebih fokus menjatuhkannya, bukan membangunnya. Karena secara tidak langsung, kritik yang biasa kita lontarkan itu tidak membangun, malah menjatuhkan. Jadinya bukan kritik yang membangun, jatuhnya kritik sampah, kritik yang membuat orang yang dikritik jatuh ke tempat sampah. Merasa karyanya tidak layak dan jelek. Lebih parah lagi, mungkin ia akan berhenti berkarya hanya gara-gara kritik dari orang yang kurang sadar.

Saya kira, itu salah satu masalah yang sama-sama kita miliki. Bisa dikatakan, masalah bangsa ini.

Banyak dari kita yang malah saling menjatuhkan, saling menyalahkan, saling merendahkan, saling menjorokkan, saling menenggelamkan, saling sikut. Coba teman-teman lihat para pemangku kekuasaan di negeri ini, mereka lebih sibuk saling menyalahkan; pihak yang satu menyalahkan pihak yang lain, pihak yang lain menyalahkan pihak yang satu. Sibuk saling menyalahkan, sampai lupa tugas utama.

Dalam bidang pendidikan juga demikian. Buktinya? Banyak siswa yang mengeluh ketika tugasnya tidak diterima gurunya. Banyak siswa yang sakit hati ketika hasil tugasnya dianggap buruk. Banyak mahasiswa yang takut menyampaikan pendapatnya, karena takut sang dosen ‘melahapnya’. Dan akhirnya mungkin mahasiswa-mahasiswa itu geram, banyak bukti sekarang dosen yang ditemukan tewas dibunuh. Itu karena apa? Permasalahan dasar. Tidak bisa membangun, membangkitkan, menggerakkan mahasiswanya, malah menjatuhkan, merendahkan.

Ya begitulah, bahkan mungkin sekarang yang disebut ‘pendidik’ berlomba-lomba berlaga, agar ditakuti para mahasiswanya. Entah tujuannya apa.

Saya pernah membaca tulisan Prof. Rhenald Kasali, beliau seorang guru besar FEUI, yang bercerita tentang pengalamannya bertemu dengan guru anaknya di Amerika,
Ketika itu beliau (Prof. Rhenald), terkejut ketika mendapati hasil tulisan anaknya (tentu tulisan berbahasa Inggris) diberi nilai 9/90 oleh gurunya. Beliau merasa, bahwa hasil tulisan anaknya biasa saja. Tidak pantas diberi nilai 9. Dan beliau merasa kecewa, karena anaknya diberi nilai 9, kenapa tidak diberi nilai yang seusai, agar anaknya merasa sadar dan terus belajar lebih baik lagi. Akhirnya beliau memutuskan untuk bertemu dengan guru tersebut, ingin sekedar bertanya mengapa diberi nilai 9.

Setelah berbincang dengan guru anaknya, beliau tersadarkan. Karena, sang guru tersebut berkata, “Pak, disini tempatnya belajar. Kami lebih senang membangun putra-putra kami dengan memberinya semangat dan mengapresiasinya. Tentu tidak mudah seperti anak bapak yang lahir di negeri yang bahasa ibunya bukan Bahasa Inggris, maka dari itu, hasil tulisan anak bapak layak dan pantas diberi nilai 9.”

Nah, setelah pertemuan dengan guru anaknya itu, beliau menjadi lebih sadar. Bahwa yang lebih penting dan utama ialah menghargai hasil karyanya, dan tentu mengapresiasinya. Bukan malah menjatuhkan.

Beliau juga merasa, itulah perbedaan pendidikan di Indonesia dengan di luar. Di Indonesia, anak didik sering merasa tertekan, tidak have fun ketika belajar. Maka pantaslah jika hasil pendidikan kita tidaklah sebaik dengan mereka (orang luar). Coba saja lihat, ketika persidangan sarjana misalnya, pastilah banyak mahasiswa yang setelah keluar ruangan persidangan, menangis. Mereka para tester didalam bagaikan macan yang akan menerkam.

(kisah diatas merupakan gambaran yang saya ingat dan tangkap dari apa yang telah saya baca)
________

Nah, maka dari itu, ayo kita belajar, agar lebih fokus memberi kritik yang bermanfaat, yang membangun. Bukan malah menjatuhkan mental orang yang kita kritik. Karena jika kritik yang kita berikan itu kritik yang bermanfaat dan membangun, pasti ada efek yang mendalam sekaligus bermanfaat bagi orang tersebut. Dan sebaliknya, jika kritik yang kita berikan cenderung menjatuhkan dan meremehkan, itu hanya akan menjadi luka yang membekas di hatinya.

Karena, setiap individu akan lega jika ia merasa diterima perasaannya. Ketika sedih, ia akan bahagia jika kesedihannya diterima terlebih dahulu, bukan malah dimarahi dan dituntut untuk cepat-cepat menyelesaikan tangisnya. Ketika kesal, ia akan lega jika kekesalannya itu diterima dan diberi ruang, bukan malah disalah-salahka
n terus. Ketika bahagia, ia juga akan senang ketika kebahagiaannya diterima, bukan ditolak dan tidak dianggap. Begitulah seterusnya. (novieocktavia.tumblr.com)

Begitu pun ketika seseorang menampilkan karyanya. Ia akan lebih senang jika karyanya diapresiasi terlebih dahulu, bukan malah langsung diberi kritik pedas dan diminta untuk segera memperbaiki hasil karyanya.

Ayo kita sama-sama belajar menjadi generasi yang mengapresiasi, generasi yang membangun, bukan generasi menjatuhkan.

***
#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara

Komentar

  1. Kak, itu 90/90 atau 9/9 maksudnya? Ditulis nya 9/90,saya bingung

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu maksudnya 9 atau 90, mendekati sempurna, hehe. Bukan 9 dari 9, atau 90 dari 90. Maaf membuat bingung teh..

      Hapus
    2. Itu maksudnya 9 atau 90, mendekati sempurna, hehe. Bukan 9 dari 9, atau 90 dari 90. Maaf membuat bingung teh..

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menulis itu..

Naskah Pidato : Revolusi Mental Generasi Muda

FOLLBACK DONG!