Membimbing Jama'ah
Pada hari kamis yang lalu, saya mendapat pengalaman luar
biasa, yang belum tentu semua orang bisa merasakannya. Ya, saya berkesempatan
menjadi pembimbing jama’ah tunanetra pada kajian ma’rifatullah di Masjid Daarut
Tauhiid yang narasumbernya tidak lain tidak bukan KH. Abdullah Gymnastiar, atau
lebih sering disebut Aa Gym. Kajian itu berlangsung dari sekitar ba’da isya
sampai pukul 21.00.
Yap, pada saat itu Daarut Tauhiid kedatangan tamu dari Sekolah Luar Biasa NH yang berada di Jl. Padjadjaran, kurang lebih sekitar 30 siswa tunanetra hadir ke Masjid Daarut Tauhiid untuk mendengarkan kajian dari Aa Gym. Nah, saya disana ditugaskan untuk menjadi pembimbing jama’ah tunanetra tersebut. Saya diajari bagaimana cara menuntun anak-anak tunanetra, bagaimana cara salam dan berkenalan kepada anak-anak tunanetra, bagaimana cara mengetahui apabila ada diantara mereka yang membutuhkan bantuan.
Saya menemui mereka sebelum adzan maghrib berkumandang. Saya langsung duduk berdekatan dengan mereka, mencoba berbaur dan memperkenalkan diri. Sebenarnya tidak semua dari mereka tidak mampu melihat secara total, tapi ada beberapa yang low vision, yakni masih ada kemampuan untuk melihat, namun samar-samar. Tak lama setelah duduk, ada 3 orang anak yang ingin kebawah untuk makan, saya pun dipersilahkan untuk mencoba membimbing mereka untuk ke bawah. Saya cukup antusias, bisa mengetahui dan merasakan bagaimana menuntun anak-anak tunanetra. Sampai dibawah, saya memulai percakapan dengan mereka, saya memerhatikan wajah dan tingkah laku mereka. Rasanya harus banyak bersyukur kepada Allah, karena masih diberikan nikmat penglihatan. Subhanallah.
Waktu pun terus berjalan, dari shalat maghrib sampai ‘isya, yang akhirnya mulailah kajian dari Aa Gym. Saya sangat bersyukur, karena dengan menjadi pembimbing jama’ah tunanetra ini saya bisa duduk menikmati sajian ilmu di shaf terdepan. Mereka tampak sangat antusias mendengarkan kajian dari Aa Gym, ada beberapa anak yang merekam kajian tersebut menggunakan handphone-nya dengan serius dan rela tangannya pegal karena harus sedikit diangkat.
Ada salah satu diantara mereka yang dipersilahkan oleh Aa Gym untuk berbicara, dan
yang mewakilinya ialah Cito. Cito ditanya sejak kapan menjadi tunanetra, dan bagaimana perjuangan yang ia lakukan untuk menjalani hidup dengan keterbatasan penglihatan. Cito menjawab dengan lugas dan sangat bijak. Jawaban Cito membuat seisi masjid hening dan suasana menjadi haru.
Pada hari itu saya memang sudah berniat untuk mengikuti
kajian tersebut, hadir sebagai jama’ah biasa, tanpa ada tugas apapun. Kira-kira
pukul 15.30, salah seorang guru saya menghubungi saya, beliau meminta bantuan.
Saya sempat terheran, bantuan apa yang dibutuhkan guru saya. Sampai akhirnya
beliau meminta saya untuk datang ke Daarut Tauhiid pada pukul 16.30 untuk
membantu beliau menjadi pembimbing jama’ah tunanetra. Tanpa piker panjang, saya
pun langsung mengiyakan tawaran dari beliau.
16.30 tepat saya tiba di Masjid Daarut Tauhiid, untuk
memenuhi tawaran dari guru saya.
Setelah sampai dan bertemu, saya langsung
dipertemukan dengan dua akang, satu Kang Rosyid, satu lagi Kang Anonim, saya
lupa namanya. Saya diberi pengarahan apa saja yang saya harus lakukan selama
menjadi pembimbing jama’ah tunanetra disana.
Yap, pada saat itu Daarut Tauhiid kedatangan tamu dari Sekolah Luar Biasa NH yang berada di Jl. Padjadjaran, kurang lebih sekitar 30 siswa tunanetra hadir ke Masjid Daarut Tauhiid untuk mendengarkan kajian dari Aa Gym. Nah, saya disana ditugaskan untuk menjadi pembimbing jama’ah tunanetra tersebut. Saya diajari bagaimana cara menuntun anak-anak tunanetra, bagaimana cara salam dan berkenalan kepada anak-anak tunanetra, bagaimana cara mengetahui apabila ada diantara mereka yang membutuhkan bantuan.
Untuk menuntun anak-anak tunanetra, bisa dibilang mudah untuk
dilakukan, kita tinggal menempatkan tangan anak tersebut pada lengan kita, yang
nantinya akan bersambung ke belakang, seperti kereta. Jadi saya paling depan,
dan anak-anak tunanetra dibelakang saya saling menyambung berpegangan. Apabila
jalan yang akan dilalui cukup luas, kita menuntun mereka dengan cara seperti
biasa kita berjalan, kita menempatkan tangan kita di kanan atau kiri badan
kita. Apabila jalan yang dilalui sempit, tangan kita disimpan di belakang, di
pinggang bagian belakang (seperti posisi istirahat pada upacara bendera namun
satu tangan). Kita diibaratkan menjadi mata bagi mereka, yang harus memberi
informasi mengenai keadaan jalan atau ruangan yang akan dilalui. Misal : jalan
sempit, banyak orang/jama’ah, akan melalui tangga, jalan licin, rapat kiri,
dll.
Untuk salam dan berkenalan dengan mereka pun sangat mudah,
yakni kita tinggal mengelus punggung tangan kita ke punggung tangan mereka, itu
sebagai tanda bahwa ada orang yang akan mengajak mereka untuk berjabat tangan. Mereka
pun akan menerima tanda tersebut, dan langsung menjabat tangan kita.
Nah, apabila ketika kajian berlangsung ada diantara mereka
yang ingin ke toilet, mereka akan memegang kepala bagian belakang mereka. Itu
tanda bahwa mereka membutuhkan bantuan, dan menjadi tanda bagi kami
(pembimbing) untuk menghampirinya.
Setelah diberi pengarahan, saya dan yang lainnya langsung ke
lantai atas untuk menemui mereka. Pembimbing anak-anak tunanetra tersebut ada 6
orang. Saya, Kang Ale, Kang Rosyid, dan 3 Akang Anonim, saya lupa namanya.
Saya menemui mereka sebelum adzan maghrib berkumandang. Saya langsung duduk berdekatan dengan mereka, mencoba berbaur dan memperkenalkan diri. Sebenarnya tidak semua dari mereka tidak mampu melihat secara total, tapi ada beberapa yang low vision, yakni masih ada kemampuan untuk melihat, namun samar-samar. Tak lama setelah duduk, ada 3 orang anak yang ingin kebawah untuk makan, saya pun dipersilahkan untuk mencoba membimbing mereka untuk ke bawah. Saya cukup antusias, bisa mengetahui dan merasakan bagaimana menuntun anak-anak tunanetra. Sampai dibawah, saya memulai percakapan dengan mereka, saya memerhatikan wajah dan tingkah laku mereka. Rasanya harus banyak bersyukur kepada Allah, karena masih diberikan nikmat penglihatan. Subhanallah.
Waktu pun terus berjalan, dari shalat maghrib sampai ‘isya, yang akhirnya mulailah kajian dari Aa Gym. Saya sangat bersyukur, karena dengan menjadi pembimbing jama’ah tunanetra ini saya bisa duduk menikmati sajian ilmu di shaf terdepan. Mereka tampak sangat antusias mendengarkan kajian dari Aa Gym, ada beberapa anak yang merekam kajian tersebut menggunakan handphone-nya dengan serius dan rela tangannya pegal karena harus sedikit diangkat.
Ada salah satu diantara mereka yang dipersilahkan oleh Aa Gym untuk berbicara, dan
yang mewakilinya ialah Cito. Cito ditanya sejak kapan menjadi tunanetra, dan bagaimana perjuangan yang ia lakukan untuk menjalani hidup dengan keterbatasan penglihatan. Cito menjawab dengan lugas dan sangat bijak. Jawaban Cito membuat seisi masjid hening dan suasana menjadi haru.
Sampai pada akhirnya kajian pun berakhir pada pukul 21.15,
jama’ah pun mulai pergi meninggalkan masjid. Saya pun kembali menuntun
anak-anak tersebut menuju lantai bawah, untuk segera mengantarkan mereka ke
mobil dan pulang ke asrama sekolahnya. Sebelum mobil pergi saya diberi ucapan
terima kasih dari pengurus SLB tersebut, jangan bosan untuk membantu katanya.
Pukul 22.00 mereka pun pulang, dan waktunya saya pulang juga.
Saya sangat bersyukur bisa berinteraksi dengan mereka yang memiliki
keterbatasan. Mereka luar biasa, bisa berjuang dalam menjalani kehidupan yang
tak mudah. Kita yang diberi kesempurnaan fisik masih sering mengeluh dalam
menjalani hidup, tapi mereka yang memiliki keterbatasan malah lebih bisa
berjuang menjalani hidup.
Intinya, selalu bersyukurlah dengan apa yang kita miliki.
Memiliki hal sekecil apapun, syukurilah. Banyak orang diluar sana yang tidak
bisa merasakan nikmatnya penglihatan, pendengaran, dlsb. Maka dari itu, harus
banyak bersyukur dengan segala nikmat yang Allah beri. Kadang kita terlalu
sibuk memikirkan apa yang tidak ada, dan lupa terhadap apa yang ada.
Semoga cerita singkat dari saya ini dapat diambil hikmah dan
manfaatnya. Ayo senantiasa belajar bersyukur dari setiap hal yang kita miliki.
“Bukan
bahagia yang menjadikan kita bersyukur, tetapi dengan bersyukur kita akan
menjadi bahagia.”





Komentar
Posting Komentar