Ada Apa dengan Menyontek?

Lagi musim-musim UAS nih, ada yang udah minggu kemaren, ada juga yang mungkin minggu depan. Udah sejauh mana persiapannya? Atau yang UAS-nya udah selesai, gimana? Maksimal? Semoga yang UAS-nya udah selese, dikasih hasil yang optimal, dan untuk yang belum, maksimalkan.

Ngomong-ngomong tentang UAS, sebenernya sih UAS tuh kan pengujian kepada peserta didik setelah selama 1 semester mendapat materi belajar, udah sejauh mana materi-materi yang telah bapak-ibu guru ajarkan dapat dimengerti oleh peserta didik. Iya kan? Jadi sebenernya belajar yang giat ketika detik-detik mendekati UAS tuh gak perlu-perlu amat, karena test yang diujiankannya juga kan bersifat pengulangan, yang sebelumnya udah diajarin dan seharusnya kita udah ngerti bener.

Yang jadi masalah adalah ketika kita gak ngerti bener materi yang udah diajarin. Yang jadinya belajarnya cuma pas H-1 UAS mata pelajaran yang diujikan, atau bahkan detik-detik menuju bel masuk bunyi. Iya kan? Sebenernya sih gak ada masalah dengan cara belajar yang kayak gitu, namun cukup disayangkan. Setelah 6 bulan belajar penuh, yang setiap 1 bab-nya ada ulangan harian, rasa-rasanya kita seharusnya sudah mengerti materi pelajaran secara keseluruhan.

Nah, awal masalahnya kan karena kebanyakan siswa yang gak ngerti materi pelajaran secara keseluruhan, jadi aja belajarnya dikebut. Tapi gak semua siswa bersikap demikian, ada juga yang ngerasa bodo amat karena gak ngerti, ngerasa kalau belajarnya mepet tuh gak akan ngaruh, terus bertekad kalau di semester selanjutnya bakal belajar bener, biar pas UKK ngerti. Padahal tekad itu juga belum tentu terlaksana.

Jadi lebih baik yang mana? Yang belajarnya mepet H-1, atau yang ngerasa belajar mepet gak akan ngaruh dan akhirnya gak belajar?

Jawabannya : gak ada yang lebih baik.

Sebenernya kedua tipe murid itu bermasalah, sama-sama berkemungkinan memilih jalan pintas, yakni nyontek. Yang belajarnya mepet pasti susah, karena gak semua bab atau materi dia kuasain, dan yang gak belajar pun sama, sama-sama burem. Akhirnya saling nyontek deh..

“Jangan nyontek ya! Biasain jujur!”

“Lebih baik nilai kecil tapi jujur daripada nilai gede tapi hasil nyontek!”

“Ayoo, masing-masing udah punya soal kan?! Jangan nyontek!”

Pasti pengawas ujian atau guru-guru sering banget bilang kayak gitu, sering banget. Tapi nerap gak sih? ENGGAK. Sama sekali nggak nerap. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Didenger iya, dilakuin nggak. Sebenernya bapak-ibu guru tuh bukan cuma ngomong, tapi memang berharap demikian, yakni anak-anak didiknya berlaku jujur pada saat ujian. Tapi tidak dengan siswa, siswa berpikir bahwa itu hanyalah imbauan formalitas pada saat ujian. Iya gak?

Untuk sebagian siswa yang punya karakter jujur, pasti seneng banget kalau guru atau pengawasnya bilang kayak gitu. Seneng karena kejujurannya diapresiasi, bukan apresiasi sih yang dicari, tapi ya itulah, bangga karena berbeda dalam hal positif.

Sebenernya, sebanyak apapun bapak-ibu guru ngomong harus jujur, nyontek-menyontek tetep aja ada di setiap ujian. Terus, yang salah siapa?

Ibu-bapak guru yang sudah kaya akan pengalaman di dunia pendidikan, tentu tau apa yang baik untuk para muridnya. Termasuk kejujuran, orang yang jujurlah yang nantinya akan bermanfaat di masyarakat. Maka dari itu, bapak-ibu guru tak pernah lelah menanamkan sikap jujur kepada para muridnya. Dan sudah menjadi tugas sekaligus peran dari pendidik untuk menanamkan sikap-sikap positif.

Siswa-siswi pun sama, memiliki tugas. Tugasnya ya belajar, mempelajari belasan mata pelajaran untuk dikuasai seluruhnya. Dengan catatan, ketika ujian harus jujur, plus nilai harus besar. Mungkin itu yang membuat siswa sering atau bahkan selalu menyontek. Dituntut mendapat nilai besar dari banyaknya mata pelajaran yang tidak bisa semuanya dikuasai.

Mau cerita sedikit. Saya pernah ikut seminar nasional, tentang ‘Implementasi Karakter Pendidik di Sekolah’. Pada saat itu pematerinya akademisi, yakni yang bergelar Prof. dan dosen. Pada sesi tanya jawab, ada salah seorang ibu guru yang bertanya,

“Bagaimana sikap kita sebagai seorang pendidik, yang harus senantiasa mengajarkan dan menanamkan karakter kejujuran kepada peserta didik, sedangkan peserta didik selalu dituntut untuk mendapat nilai yang besar untuk seluruh mata pelajaran. Ketika mereka berlaku jujur, tentu tidak semua mendapat nilai yang besar. Dan yang mendapat nilai besar pun tidak semua berlaku jujur. Nilai yang besar hasil menyontek dan nilai kecil buah kejujuran. Bagaimana kami menyikapinya? Untuk selalu bisa menanakan karakter positif pada peserta didik, khususnya kejujuran? Terima kasih.” Jelas ibu guru.

Kebetulan seminar itu dihadiri oleh dosen, guru SMA, mahasiswa, dan siswa. Sang pemateri menjawab,

“Terima kasih ibu, pertanyaan yang sangat bagus, dan cukup sulit menjawabnya. Namun saya akan coba menjawabnya. Begini bu, soal karakter positif, itu merupakan dambaan dan harapan seluruh pendidik, yang harus senantiasa ditanamkan kepada para peserta didik. Mengenai karakter yang ada pada peserta didik, itu merupakan buah hasil pendidikan dari orang tua sebagai sosialisator utama dan pertama bagi anak. Jadi sebenarnya persoalan karakter itu harus ditanamkan sejak kecil, karena apabila saat sudah besar, katakanlah SMA, cukup sulit untuk mengubahnya jika tanpa ada kesadaran dari anak didik tersebut. Tugas dan peran seorang pendidik di sekolah ialah memberi contoh yang baik, memberi teladan yang baik kepada para peserta didik. Jangan sampai guru hanya berbicara tanpa tindakan, ada pepatah mengatakan ‘Guru kencing berdiri, murid kencing berlari’. Maka dari itu, guru harus senantiasa menjadi contoh atau teladan yang baik dan ideal bagi para peserta didik. Mungkin itu bu yang bisa saya jawab, terima kasih.”

Begitu deh cerita singkatnya. Luar biasa bukan? Bapak-ibu guru pun menyadari bahwa memang ada tuntutan bagi kita, siswa-siswi. Dan kita pun sebagai siswa ya harus mau dan mulai sadar untuk berubah, utamanya dalam hal kejujuran. Sepertinya kita sering menyalahkan atau menuduh yang tidak baik kepada bapak-ibu guru,

“Ah, si ibu mah gak ngerti, kita tuh banyak tugas juga selain pelajaran ibu!”

Betul kan? Memang pada kenyataannya, kita terlahir di negeri yang mengharuskan kita belajar banyak pelajaran. Tapi itu bukan tanpa tujuan, melainkan agar kita memiliki dasar yang kuat untuk melanjutkan pendidikan di disiplin ilmu yang kita pilih di jenjang pendidikan yang lebih tinggi nanti.

Maka dari itu, yuk mulai sadar. Mungkin kesadaran itu hal yang terkesan kecil dan mudah 
untuk dilakukan. Tapi tidak loh, butuh kemauan dari diri sendiri untuk sadar dan berubah. Sadar merupakan langkah awal yang baik untuk melanjutkan kebaikan-kebaikan yang ada didepan.

Jadi, mulai saat ini, berhenti mengeluh, berhenti menyontek. Dan mulailah untuk berbuat jujur dimana pun, kapan pun. Karena sesungguhnya kejujuran itulah yang bernilai mahal.

Yuk, mulai sadar dan jujur!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menulis itu..

Naskah Pidato : Revolusi Mental Generasi Muda

FOLLBACK DONG!