Malas Pangkal Terlambat


Pernah mendengar pepatah ‘rajin pangkal pandai’? Yap, sudah pasti pernah. Bahkan ketika saya SD dulu, ada papan besar bertuliskan pepatah tersebut. Seolah-olah pepatah tersebut ingin memberi pesan kepada kita, kalau mau pandai, ya harus rajin. Tentu itu benar, sampai saat ini belum ada orang yang membantah pepatah itu. Karena memang begitu, ketika kita ingin pintar atau pandai, ya tentu harus rajin.

Tapi rasanya kita tidak pernah mendengar pepatah, slogan, atau pesan dari lawan katanya ‘rajin’. Iya, si ‘malas’. Katanya, tidak ada orang bodoh, yang ada hanyalah orang malas. Tapi ketika kita malas, akankah itu berujung pada kebodohan? Mungkin akan terdengar terlalu kasar. Kalau kita berani mengkampanyekan “Ayo, harus rajin. Biar kamu pintar! Rajin pangkal pandai lhoo!” kita pun tentu harus berani mengkampanyekan lawannya, si malas, agar pesan yang disampaikan lebih dapet. “Jangan malas! Kalau malas kamu akan bodoh!”

Coba saja kalau di papan-papan besar di setiap SD atau TK dituliskan ‘malas pangkal bodoh’, pastilah setiap murid tidak akan malas, karena takut bodoh. Tapi coba kita lihat, mungkin pepatah ‘rajin pangkal pandai’ masih banyak dituliskan dan ditempelkan di setiap sudut sekolah, tapi buktinya? Adakah yang termotivasi sehingga ia rajin belajar? Mungkin ada, tapi saya pastikan, tidak banyak.

Mengapa demikian? Karena, tidak semua orang ingin pintar atau pandai. Pasti diantara kita yang sudah dewasa pun sudah tidak terlalu menginginkan kepintaran atau kepandaian, tapi orientasinya sudah kesuksesan, keberhasilan, kemapanan, dan tentunya kebermanfaatan. Bukan lagi kepintaran, tidak seperti ketika SD atau TK dulu, yang seolah-olah kita diberi doktrin bahwa kita harus pintar, kita harus pandai.

Tapi, saya kira, tidak ada orang yang menginginkan dirinya bodoh. Mungkin pintar tidak perlu, tapi bodoh pun tidak mau. Betul bukan? Nah, kalau saja yang kita terima itu ‘malas pangkal bodoh’, mungkin kita dari dulu sampai sekarang akan terus bersemangat dan tidak pernah malas, karena takut bodoh.

Mungkin kalau yang dituliskan ‘malas pangkal bodoh’ akan sedikit terdengar terlalu kasar dan kurang baik jika ditanamkan kepada anak TK atau SD. Tapi itu bisa jadi masukan untuk seluruh kepala sekolah TK dan SD, agar muridnya tidak ada keinginan sedikit pun untuk bermalas-malasan. Karena, kalau sudah dewasa pasti akan cukup sulit menghilangkan kebiasaan malas, karena itu karakter. Yang namanya karakter harus ditanamkan sejak kecil, sejak dini, agar terbawa sampai dewasa.

Orang bodoh itu tidak ada. Yang ada hanyalah orang yang malas.” Pernah mendengar orang berkata seperti itu? Pasti pernah. Dan saya sangat setuju dengan pernyataan itu. Karena mana mungkin seseorang bisa dikatakan bodoh jika ia mau belajar. Karena hakikatnya, ketika kita ingin dan mau melangkah untuk mencoba belajar, pastilah Allah akan mudahkan langkah kita. Pasti! Gak percaya? Silahkan Anda coba sendiri. Masalahnya Anda mau mencoba atau tidak, selama Anda tidak berani melangkah untuk mencoba dan belajar, Anda tidak akan pernah tahu bahwa Anda bisa. Dan selama itulah Anda akan merasa Anda bodoh.

Kembali lagi ke pernyataan ‘tidak ada orang bodoh’. Memang benar, saya sangat yakin, yakin 100% bahwa di dunia ini tidak ada orang yang bodoh. Allah menciptakan kita sama, sama-sama dari bayi, sama-sama belum bisa berjalan, membaca, berteriak, berlari, atau bersepeda. Kita sama-sama dimulai dari bayi yang hanya bisa menangis, meminta susu, dan tidur pulas. Iya, hanya itu yang bisa kita lakukan ketika bayi. Dan yang asalnya tidak bisa berjalan, sekarang kita bisa berlari. Yang asalnya tidak bisa berbicara, malah kita sekarang bisa berorasi. Yang asalnya kita tidak bisa membaca dan menulis, sekarang kita bisa dengan mudahnya membaca dan menulis. Nah, mengapa kita menjadi bisa berjalan, berorasi, dan membaca? Karena.. kita belajar!

Kita sama-sama belajar berjalan, hingga akhirnya kita bisa sama-sama berjalan. Kita sama-sama belajar berbicara, hingga akhirnya kita sekarang bisa bertegur sapa dan saling mengobrol. Kita sama-sama belajar membaca dan menulis, sampai akhirnya sekarang saya bisa menulis tulisan ini dan Anda bisa membacanya. Kita sama-sama belajar, bukan? Jadi, yang menjadikan kita hari ini mampu berdiri, melangkah, dan bergerak itu adalah hasil belajar kita. Segala kemampuan yang kita miliki hari ini adalah hasil belajar kita.

Tapi, mungkin teman-teman akan bertanya, “Kalau kita sama-sama belajar membaca dan menulis, kenapa kemampuan membaca dan setiap orang berbeda?” Nah, disitulah point-nya. Tentu, yang sedari kecil sudah dibiasakan membaca oleh orang tuanya, akan berbeda kemampuan membacanya dengan orang yang baru dibiasakan membaca sejak ia tumbuh dewasa. Begitu pun dengan menulis, orang yang sudah lama belajar dan membiasakan menulis, akan berbeda kemampuan menulisnya dengan orang yang baru belajar menulis. Tentu kemampuan membaca yang saya maksud disini ialah kemampuan memahami bahan bacaan atau teks, bukan sekadar membaca A K B A R, akbar. Dan juga seberapa cepat ia menyelesaikan bahan bacaan dalam waktu tertentu. Semakin cepat dan semakin paham orang itu membaca teks yang telah ia baca, maka kemampuan membacanya semakin baik. Kemampuan menulis yang saya maksud juga kemampuan mengarang, kemampuan menyusun dan merangkai kata demi kata agar menjadi kalimat yang padu, menyusun kalimat demi kalimat agar menjadi paragraf yang sistematis, dan seterusnya. Bukan kemampuan menulis tangan di kertas.

Nah, yang menjadikan kita berbeda adalah proses belajar kita. Kita mungkin sama-sama bisa berbicara, tapi mungkin tidak semua orang mampu berbicara lantang didepan umum. Kita mungkin sama-sama bisa berlari, tapi tidak semua orang mampu berlari dengan kecepatan dan kekuatan yang sama.

Pada intinya, semua orang pasti akan mampu melakukan suatu kegiatan yang dilakukan oleh orang lain, asal mau belajar. Misal kita ingin ahli dalam bidang bela diri, tentu tidak akan langsung sehebat Jackie Chan, pasti ada proses dimana badan kita pegal-pegal diawal waktu latihan, badan kita lebam ketika pertama kali fighting, dan seterusnya. Toh Jackie Chan juga tidak langsung mahir, pasti melewati proses latihan yang panjang.

Mari kita tarik ke permasalahan awal, permasalahan si ‘malas’. Teman-teman sudah bisa menangkap pikiran saya tidak? Iya jadi begini, jika kita tidak bisa melakukan suatu hal yang orang lain sudah menguasainya, ada kemungkinan kita malas. Contoh saja, teman kita pintar dalam pelajaran matematika, sedangkan kita tidak terlalu. Nah, sebenarnya bukan karena dia pintar, melainkan karena kita yang malas mengejar ketertinggalan kita. Mungkin dia terus maju perlahan, terus mencoba belajar materi demi materi. Tapi tidak dengan kita, kita merasa dia pintar dan sudah ahli dari sononya, sedangkan kita tidak, jadi saja kita memilih diam. Padahal apa? Padahal tidak ada orang yang bodoh! Yang ada hanyalah orang yang malas. Toh gurunya sama, dan mengajarkan materi yang sama.

Ketika kita malas, kita akan bertemu dengan keterlambatan. Kita harus berlari kencang mengejar segala keterlambatan kita. Dan ketika kita terlambat, sudah pasti kita akan tertinggal. Sebenarnya kita bisa untuk sama, bahkan melebihi orang lain, tapi masalahnya ini kita malas, sehingga terlambat dan tertinggal. Tolak ukur seseorang berada di depan atau di belakang itu rajin atau malasnya. Semakin rajin ia melangkah, semakin cepat ia mencapai garis finis. Semakin malas ia melangkah, semakin jauhlah ia tertinggal.

Teori ‘malas pangkal terlambat’ ini berlaku untuk segala bidang. Ya pendidikan, pekerjaan, pengembangan diri, termasuk ibadah. Mau contoh?

Dalam urusan ibadah misal, kita khususkan ibadah dalam pembahasan ini shalat. Katakanlah Anda seorang pria, yang kita ketahui bersama pria itu shalat fardhu-nya wajib di masjid. Ketika adzan sudah berkumandang, dan Anda masih malas untuk beranjak, tentu Anda akan ketinggalan shalat berjama’ahnya. Bahkan bukan hanya shalat jama’ahnya, sudah tentu Anda akan tertinggal shalat sunnah rawatib qobliyah-nya (jika memang ada). Sungguh merugikan, ada kesempatan untuk sama dengan yang lain, tapi lebih memilih menundanya hanya karena malas. Atau bagi Anda yang wanita. Dalam shalat fardhu tentunya wanita juga harus tepat waktu dalam pelaksanaannya. Misal ketika teman Anda dirumah sebelah sudah menunaikan hak-nya, dan Anda masih malas bangkit dan mengambil air wudhu’, pastilah Anda akan tertinggal. Tertinggal apanya? Tertinggal mendapat fadhillah shalat tepat waktu. Mungkin do’a yang teman Anda panjatkan sudah sampai pada Allah, tapi do’a Anda tak kunjung sampai karena Anda masih malas menunaikannya.

Tentu mudah ya mencari contohnya dari setiap bidang? Iya, sehingga saya tidak perlu memberi contoh di bidang lain.

Sungguh, malas itu sangat merugikan. Semoga teman-teman mengerti buah pikir saya ini, sehingga bisa teman-teman terapkan dalam keseharian, dan mari kita ucapkan selamat tinggal MALAS!!

Orang sukses itu ialah orang yang ketika orang lain masih diam, ia sudah bangkit. Ketika orang lain bangkit, ia sudah melangkah. Ketika orang lain melangkah, ia sudah berlari. Ketika orang lain berlari, ia sudah sampai.”

***
#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Pidato : Persahabatan yang Sesungguhnya

Praktek Nikah

Gemuk, Enak Gak Sih?